Minggu, 27 Oktober 2013

Enigma “Ustadzpreneur”

Akhir-akhir ini masyarakat kian dibingungkan dengan munculnya pemberitaan di berbagai media terkait fenomena “ustadzpreneur”, yang kini menjadi enigma (teka-teki) yang belum terjawab. Dalam hal ini ketika para pendakwah atau da’i yang sudah dikenal luas ingin diundang untuk memberikan pencerahan pada umat, harus mengalami kendala saat dihadapkan pada cost (biaya) yang fantastis. Muncul pertanyaan, apakah seorang da’i boleh memasang “tarif profesional” dalam berdakwah. Dengan kata lain, ustadz (pendakwah) itu adalah bagian dari profesi alias ustadzpreneur.

Ustadzpreneur yang penulis maksudkan di sini adalah seorang pendakwah yang menjadikan aktivitas dakwah sebagai profesi dalam mata pencahariannya. Dari situ jasanya harus dihargai secara profesional layaknya motivator, business coach, artis, dan lainnya, sehingga ‘wajar’ jika memiliki manajemen profesional. Tak jarang berbagai undangan pun dibatalkan, karena persoalan negosiasi biaya yang tidak menemui titik temu sesuai permintaan sang ustadzpreneur sebagaimana kasus yang mewarnai media beberapa waktu ini.

Menyangkut biaya untuk mengundang sang ustadzpreneur sebagaimana yang telah mencuat ke publik, yang diperlukan tidak hanya untuk “jasa ceramahnya” saja, melainkan juga transportasi PP, administrasi, penginapan mewah, plus jalan-jalan, dan sebagainya. Ditambah lagi harus ada DP nya terlebih dulu. Apabila batal maka DP tersebut pun hangus atau tidak dapat dikembalikan. Ini tentu merupakan suatu pelencengan yang akan menimbulkan efek negatif bagi umat sehingga menjadi skeptis.

Fenomena paradoks ini, bukan tanpa alasan. Media massa juga turut berperan mengekspos para da’i yang hanya mementingkan popularitas demi materi. Ustadzpreneur pun seringkali menggunakan dalil sebagai dalih untuk membenarkan langkah anomalinya ini. Biasanya yang sering dipakai adalah,

“Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima adalah imbalan mengajarkan Alqur’an” (HR. Bukhori)

Sah-sah saja memang, namun harus dipahami bahwa ada perbedaan besar antara upah mengajarkan kitabullah dengan memelintir kitabullah untuk mendapatkan harta dari situ. Nyata-nyatanya sangat sulit ditemukan adanya seruan tegas nahyi munkar dari para ustadzpreneur tersebut. Yang ada hanyalah materi ceramah yang justru cenderung ngawur tanpa dalil, ditambah sedikit bumbu humoris. Targetnya adalah menyenangkan hati audiens, bukan berharap penyampaiannya berbekas untuk merubah mereka dari yang buruk menjadi yang baik.

Tak jarang yang mendominasi ceramahnya hanyalah lelucon yang sering melenceng, sehingga yang diingat jama’ah bukanlah materi nasehatnya melainkan lawakan yang dibawakan. Tentu ini sangat membuat miris. Disaat umat membutuhkan penyadaran untuk bangkit dan berubah, yang disampaikan malah membuat umat tetap merasa aman berada di zona nyaman yang penuh dengan kerusakan. Seharusnya pengemban dakwah memiliki tagline : “Hidupkanlah agama, jangan hidup dari agama. Hidupkanlah dakwah, jangan hidup dari dakwah.” Sebagaimana sabda Nabi SAW,

“Bacalah Alqur’an, dan jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu lalai, jangan makan upah mengajar Alqur’an, dan memperbanyak harta melalui mengajar Alqur’an” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh ibnu Hajar)

Maka agama ini mewajibkan dakwah, karena dakwah itu mulia dan tak bisa dinilai dengan harta, Allah-lah yang akan membayarnya. Seorang da’i harus takut kepada Allah, jangan takut miskin. Dengan bertaqwa, nantinya rezeki akan datang sendiri. Dari mana? dari arah yang tak diduga-duga. Tentunya sudah menjadi kewajiban bagi setiap laki-laki yang memiliki tanggungan untuk bekerja mencari nafkah. Dan dakwah bukanlah ladang mencari nafkah. Maka tidak boleh memasang tarif dalam berdakwah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas mengatakan bahwa seseorang tidak bisa dikatakan ustadz jika memasang tarif saat berdakwah. "Kalau pasang tarif itu bukan ustadz, tetapi artis," kata Ketua MUI, KH. Ma'ruf Amien kepada itoday, Senin (19/08).

Perlu disadari bahwa aktivitas dakwah adalah murni ibadah. Berbeda dengan bekerja, seperti menjadi guru, trainer, dan sebagainya, yang telah jelas akadnya sebagai ijaroh (kontrak kerja/sewa jasa). Sementara dakwah, tidak termasuk kategori demikian. Dakwah adalah kewajiban bagi muslim yang beriman, bahkan untuk menguatkan dakwah justru kitalah yang harus mengeluarkan uang berupa infaq dan sejenisnya.

Bisa dianalogikan, dakwah profesional itu performanya founder/owner, akadnya volunteer. Maksudnya dalam berdakwah kita harus mengeluarkan seluruh potensi dan kemampuan terbaik kita sekalipun harus berkorban harta, waktu, pikiran, bahkan nyawa sekalipun. Layaknya seorang pendiri/pemilik sebuah perusahaan yang berjuang habis-habisan untuk membangun dan mengembangkan ­­­­perusahaannya. Sementara akadnya harus sukarela, dalam arti tidak ada pembicaraan untuk menetapkan ataupun mengharapkan tarif ketika diminta untuk berdakwah. Karena dakwah dilandasi dengan keikhlasan, tanpa mengharapkan imbalan materi duniawi, namun jika diberi maka tidak masalah untuk menerimanya.

0 komentar:

Posting Komentar